01 Juli 2008

Politisi Harus Diyakinkan
Menyangkut Pentingnya Pengembangan Industri Biofuel

BOGOR, (PR).-
Para ekonom dan politisi harus diyakinkan agar mampu memberikan dorongan kepada pemerintah agar menumbuhkan iklim yang kondusif bagi perkembangan industri biofuel. Hal ini penting menyusul makin menipisnya cadangan bahan bakar fosil, sehingga kita memiliki bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dan mandiri.

Perhatian dunia pun sudah mulai fokus pada pengembangan energi alternatif yang semakin kuat. Hal itu bisa terlihat dari aktivitas industri otomotif dunia dunia yang saat ini mengarahkan pada pengembangan produk yang menggunakan bahan bakar ramah lingkungan.

Kondisi itu seharusnya dijadikan dasar bagi pemerintah untuk mendorong pengembangan biofuel, apalagi Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia setelah Braszil. Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah, seharusnya pengembangan industri biofuel dijadikan arus utama (mainstream).

Seperti diungkapkan mantan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Ahmad Ansori Mattjik yang menjadi perintis pengembangan tanaman jarak pagar (Jatropha) sebagai salah satu bahan biofuel, di sela-sela fieldtrip ke kebun jarak dalam Konferensi Internasional Jatropha (jarak pagar), di Citeureup, Bogor, akhir pekan lalu.

Menurut dia, untuk pengembangan biofuel, kita perlu komitmen dari pemerintah, pengusaha, dan akademisi (peneliti) dalam mengembangkan bahan bakar nabati (biofuel) sebagi bahan bakar alternatif yang selama ini banyak digembor-gemborkan. Pasalnya, Perhatian pemerintah dirasa kurang dalam pengembangan biofuel.

"Saya sangat menyayangkan, pengembangan ini justru diawali oleh swasta. Bahkan sampai saat ini, peran pemerintah khususnya pemerintah daerah sangat kurang sekali. Padahal, jika pengembangan ini bisa berhasil, kita dapat menemukan energi alternatif dari tanaman yang bisa diperbaharui dan tidak akan habis," tuturnya.

Diakui Mattjik, pengembangan biofuel di Indonesia saat ini masih dalam tahap penelitian untuk mencari produktivitas biji jarak yang optimal. "Untuk itu, butuh dukungan dari pemerintah agar pengembangan yang kami lakukan bisa berhasil, apalagi respons dunia usaha di luar negeri sangat besar," ungkapnya.

Hal yang sama diungkapan Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Erliza Hambali. Menurut dia, jarak dapat dijadikan pilihan dan tidak menimbulkan kontroversial dalam pengembangannya. Selain dapat menghasilkan bahan biodiesel, jarak juga dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar kompor, gliserol (sabun), biogas, briket, dan pupuk kompos.

"Tanaman ini pun bukan kategori bahan pangan sehingga tidak menimbulkan kontroversial dalam pengembangannya seperti sawit atau jagung yang diprotes negara-negara lain. Selain itu, kemampuan tumbuhnya di lahan yang kering menjadi salah satu kelebihan," ujarnya.

Manajer Divisi Bioteknologi Pertanian, Badan Pengkajian, dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dr. Teuku Tajuddin menambahkan, masalah utama dalam pengembangan jarak pagar untuk jadi komoditas bisnis adalah ketidakmampuan petani kita untuk memenuhi permintaan pasar dalam skala besar. "Dari jarak yang kami kembangkan, kami hanya mampu memproduksi 700-800 kg/ha/tahun dalam tahun pertama. Padahal permintaan dari Jerman sampai 5.000 ton per tahun," ucap Tajuddin. (CA-186)***

Sumber :Pikiran Rakyat Edisi Senin, 30 Juni 2008

0 komentar:

 
Tutorial Blogspot©