11 Juli 2008

Komoditas Paprika Bernilai Ekonomi Tinggi

PERMINTAAN paprika dari tahun ke tahun terus meningkat baik untuk memenuhi pasar lokal maupun pasar ekspor. Namun, sayangnya komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi ini belum banyak tersentuh oleh bank dalam permodalan dan pasar ekspor yang lebih luas lagi.

Padahal, di Jawa Barat terdapat 26 hektare lahan untuk budi daya paprika atau sekitar 34,17 % dari luas tanaman paprika di Indonesia yang 50 % produksinya berorientasi ekspor. Salah satu daerah yang mempunyai prospek dalam pembudidayaan paprika adalah Desa Pasirlangu, Kecmatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat yang mempunyai luas lahan 18 hektare.

Prospek komoditas paprika sangat menjanjikan karena masih banyak pasar ekspor yang belum tergarap. "Saat ini pasar ekspor kami hanya ke Singapura dan pasar lokal ke seluruh Indonesia khususnya ke supermarket dan rumah makan. permintaan paprika untuk pasar ekspor sendiri tidak terbatas".

"Berapa pun yang kami pasok mereka mau membelinya," ujar Ketua Koperasi Petani Mitra Suka Maju (Koptan MSM) Desa Pasirlangu, Sutardi di sela-sela acara pertemuan petani paprika Desa Pasirlangu dengan Bank Indonesia di Cisarua, Bandung Barat, Kamis (10/7).

Penjualan dilakukan melalui perusahaan distribusi di Jakarta. Dalam satu minggu petani paprika Pasirlangu mampu memasok hingga 4-6 ton per minggu untuk pasar lokal maupun pasar ekspor dengan harga Rp 10.000,00-Rp 11.000,00/kg untuk pasar ekspor dan Rp 6.000,00-20.000,00/kg untuk pasar lokal. "Pasar ekspor harganya lebih stabil dibanding pasar lokal," ujar Sutardi.

Meski punya prospek yang bagus, masih ada beberapa kendala yang dihadapi saat ini. Salah satunya adalah harga pupuk yang naik hingga 100 %, membuat keuntungan harus turun hingga 20 %. Pemupukan per ha per hari membutuhkan 2 set pupuk campuran yang memakan biaya sekitar Rp 400.000,00.

"Untuk itu investasi dalam budi daya paprika juga tidak sedikit. Dari modal awal hingga investasi lahan membutuhkan Rp 700 juta/ha, namun keuntungannya mencapai Rp 300 juta- Rp 400 juta per ha per musim atau selama 8 bulan. Dengan naiknya harga pupuk keuntungan kami dari harga jual hanya 50 %. Padahal, dulu mencapai 70%," kata Sutardi.

Masalah pengairan dan sumber daya manusia yang kurang mendukung juga menjadi kendala. "Permodalan bagi kami sebenarnya juga cukup menyulitkan karena memang membutuhkan investasi yang banyak. Saat ini kami hanya memperoleh suntikan modal dari Bank Arta Graha," ungkapnya.

**

KOORDINATOR Bank Arta Graha Wilayah Jabar Elvi Alimudin, mengamini apa yang dikatakan Sutardi. Saat itu, tahun 1999 inisiatif dari beberapa petani yang ingin meminjam modal, mampu meyakinkan bank menjadi cikal bakal kerja sama kemitraan antara petani paprika Desa Pasirlangu dengan Bank Arta Graha.

"Saat itu hanya tiga petani yang mengajukan modal. Dari sisi usahanya sebenarnya tidak bankable, namun karena mampu meyakinkan kami dengan prospek ke depan dan visible usahanya maka kami atas dasar kepercayaan memberikan pinjaman sebesar Rp 25 juta. Itu pun juga melalui survei dan sesuai kemampuan mereka," ucap Elvi.

Dari pinjaman itu akhirnya terus berlanjut hingga tahun 2004, Arta Graha mempunyai program modal usaha bagi petani lalu dikembangkan ke petani paprika. "Tahun 2004, bertambah 10 orang petani yang mengambil modal dengan bunga 1 % per bulan. Saat itu program pinjaman yang diberikan sangat mudah. dalam satu kelompok yang terdiri dari 10 orang cukup mengajukan agunan fisik dari 2 orang saja, dan ternyata berkembang sampai sekarang," tutur Elvi.

Meskipun demikian, budi daya paprika pernah jatuh lantaran kandungan pestisida dalam paprika melebihi ambang batas yang ditentukan oleh importir. "Paprika kami pernah ditolak oleh Singapura sebanyak dua kali karena kandungan residu pestisida melebihi ambang batas akibat penyemprotan yang berlebihan, dalam memberantas hama yang biasa merusak tanaman kami," ujarnya.

"Untuk itu kami bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) Bandung, Balai penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), dan Horticultural Partnership Support Program (HPSP) untuk melakukan penelitian dalam pengendalian hama terpadu agar penggunaan pestisida bisa semakin ditekan dan diterima di pasar ekspor," ujar Sutardi.

Sementara itu, Deputi Bidang Ekonomi Moneter BI Bandung Hari Utomo menuturkan, peran BI hanya sebagai fasilitator dan memperkenalkan pada dunia industri bahwa komoditas paprika mempunyai prospek yang bagus ke depan.

"Dari penelitian yang kami lakukan dan bekerja sama dengan banyak pihak juga menganalisis segi prospek dan ekonomi sehingga petaninya bisa bankable dan dapat dengan mudah mengakses pinjaman ke bank dalam mengembangkan usahanya," tutur Hari.

Sejak satu tahun yang lalu BI mendanai penelitian tentang Pengendalian Hama Terpadu (PHT) bagi petani paprika agar mengubah pola kebiasaan mereka memberantas hama sehingga kandungan residu pestisidanya tidak terlalu besar dan dapat diterima lagi di pasar ekspor. (Wilujeng)***


Sumber : Pikiran Rakyat, jum'at 11 Juli 2008


0 komentar:

 
Tutorial Blogspot©