08 Juli 2008

Swasembada vs Gula Rafinasi

Bila gula rafinasi dibiarkan membanjiri pasar, dikhawatirkan petani tidak bergairah menanam tebu. Di sisi lain pemerintah ingin swasembada tercapai tahun depan.

Sampai dengan pertengahan tahun ini, gula rafinasi membanjiri pasar. Akibatnya, harga gula lelang di tingkat petani turun. Hasil pemantauan tim Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) ke daerah-daerah, gula yang diperdagangkan di luar Jawa dikuasai gula rafinasi.

Padahal, sepanjang 2006—2007, harga lelang gula kristal putih (GKP) sudah menembus Rp5.400 per kg. Saat ini justru anjlok menjadi Rp5.040 per kg. Sementara, menurut perhitungan Asosiasi Gula Indonesia (AGI), biaya produksi GKP mencapai Rp4.800 per kg sehingga keuntungan petani dan pabrik gula (PG) sangat tipis. Sedangkan produsen gula rafinasi bisa memperoleh laba Rp500—Rp1.000 per kg. “Sangat tidak adil bila gula rakyat dibiarkan bebas berkompetisi dengan rafinasi,” keluh Colosewoko, salah seorang pengurus AGI.

Dapat dipastikan, gula rafinasi lebih disukai konsumen. Sebab, warnanya lebih putih dan kualitasnya lebih baik ketimbang GKP. Gula yang biasanya diserap industri makanan minuman (mamin) dan obat-obatan ini mempunyai nilai ICUMSA (kemurnian) lebih kecil dari 45. Sedangkan kemurnian GKP untuk konsumsi langsung rumah tangga, sesuai dengan SNI, berkisar 81—300.

Tujuan awal pengadaan gula rafinasi hanya untuk memenuhi kebutuhan industri menengah dan besar. Tataniaganya pun diatur oleh SK Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004. Salah satu butir SK itu menyebutkan, gula rafinasi hanya diperdagangkan dari industri rafinasi kepada industri makanan minuman dan farmasi. Eh, kenyataannya bocor juga ke pasar bebas.

“Gula rafinasi memukul dan mendistorsi harga gula lokal. Kalau dibiarkan akan merugikan petani, dan mereka tidak mau lagi menanam tebu,” ungkap H. Arum Sabil, petani tebu di Jember, Jatim. Akhirnya, lanjut mantan Ketua Umum APTRI ini, PG akan mati lantaran tidak ada pasokan tebu. Di lain pihak, menurut Faruk Bakrie, Ketua AGI, dari luas areal tebu nasional, 70%-nya milik rakyat.

Kelebihan Pasok

Tampaknya, polemik itu bermula dari kesalahan perhitungan pasokan dan kebutuhan gula pada 2007. Menurut perhitungan AGI, kebutuhan gula tahun lalu sekitar 4 juta ton. Sementara berdasar catatan Dewan Gula Nasional (DGN), jumlahnya 4,6 juta ton. Tapi penyediaannya mencapai 5,8 juta ton (lihat tabel). Jumlah itu berasal dari produksi lokal 2,4 juta ton, impor di luar MSG (penyedap makanan) 2,6 juta ton, dan 0,8 juta ton stok awal. Sehingga stok akhir sebanyak 1,8 juta ton.

Tahun ini, produksi gula diperkirakan 2,7 juta ton. Dengan stok 1,8 juta ton, berarti ketersediaan gula pada 2008 sebanyak 4,5 juta ton. “Kebutuhan untuk tahun ini paling 4,1 juta ton. Setelah dikurangi untuk stok 0,8 juta ton, seharusnya impor di bawah 500 ribu ton,” tandas Colosewoko.

Masih menurut AGI, kebutuhan gula rafinasi untuk industri, hingga 2006, berkisar 0,9—1,2 juta ton per tahun. Namun pengadaan gula rafinasi pada 2007, baik dari impor gula mentah (raw sugar) yang kemudian diolah oleh lima pabrik maupun impor rafinasi langsung, mencapai 2,026 juta ton. Jumlah ini jauh melebihi kebutuhan sehingga produksi yang tidak diserap industri mamin kemudian dijual ke industri kecil dan rumah tangga. Pada akhirnya menggeser gula lokal.

Masalah kemudian timbul, stok gula di gudang PG dan pedagang melimpah. Dari stok 1,8 juta ton tahun lalu, sampai akhir Maret 2008, berdasar catatan AGI, masih ada 886 ribu ton. Jumlah ini terdiri dari 662 ribu ton GKP dan 224 ribu ton gula rafinasi. “Tahun-tahun sebelumnya, stok habis terjual pada Maret—April. Untuk memenuhi kebutuhan berikutnya, dipenuhi dari impor sembari menunggu musim giling yang dimulai bulan Mei,” ucap Colosewoko.

Smber : Majalah Agribisnis Dwimingguan AGRINA, 7 Juli 2008



0 komentar:

 
Tutorial Blogspot©